By : Hamdani Dalimunthe, S.Psi., M.M
Pernikahan merupakan ikatan multidimensional yang tidak hanya dibangun atas dasar cinta dan komitmen, tetapi juga memerlukan fondasi ekonomi yang stabil. Dalam praktiknya, hubungan suami istri bukan hanya perkara perasaan, namun juga perkara perencanaan hidup bersama, termasuk bagaimana mengelola penghasilan, pengeluaran, utang, investasi, dan kebutuhan jangka panjang keluarga. Stabilitas finansial menjadi unsur penentu dalam menjaga keharmonisan rumah tangga, karena dari aspek ini muncul rasa aman, kepercayaan, dan tanggung jawab bersama. Sayangnya, dalam banyak kasus, masalah keuangan sering kali menjadi pemicu utama konflik rumah tangga, bahkan perceraian. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS, 2023) menunjukkan bahwa lebih dari 30% kasus perceraian di Indonesia disebabkan oleh masalah ekonomi, menjadikannya sebagai penyebab paling dominan dalam dua dekade terakhir.
Ketika pasangan tidak memiliki kesepahaman dalam hal keuangan, berbagai potensi konflik pun bermunculan. Perbedaan pola konsumsi, gaya hidup, tujuan keuangan, serta ketidakterbukaan soal utang dan pengeluaran sering kali menjadi benih pertengkaran. Selain itu, jika salah satu pihak merasa terlalu terbebani atau merasa kontribusinya tidak dihargai, maka relasi bisa mulai retak karena munculnya rasa tidak adil. Dalam banyak kasus, pasangan yang gagal berkomunikasi secara terbuka tentang uang cenderung mengalami penurunan kualitas hubungan, mulai dari hilangnya kepercayaan hingga renggangnya ikatan emosional. Bahkan, studi oleh Dew dan Stewart (2012) mengungkapkan bahwa konflik keuangan merupakan prediktor paling kuat terhadap perceraian, bahkan melebihi perbedaan nilai, agama, atau pola pengasuhan anak. Artinya, uang bukan hanya alat transaksi, tetapi juga simbol kuasa, tanggung jawab, dan komitmen dalam relasi pernikahan.
Namun demikian, finansial tidak hanya menjadi sumber konflik, melainkan juga dapat menjadi instrumen pengikat emosional yang memperkuat hubungan. Pasangan yang mampu merencanakan dan mengelola keuangan secara bersama, dengan prinsip saling terbuka dan saling percaya, cenderung memiliki kualitas hubungan yang lebih baik dan stabil. Misalnya, menyusun anggaran rumah tangga bersama, menetapkan tujuan keuangan jangka panjang seperti membeli rumah, menabung untuk pendidikan anak, atau mempersiapkan dana pensiun akan memperkuat rasa kebersamaan dan kepercayaan. Rasa saling bergantung dalam konteks positif (interdependensi) juga akan tumbuh ketika pasangan merasa bahwa keputusan finansial yang mereka ambil merupakan hasil kesepakatan bersama, bukan dominasi salah satu pihak. Dalam psikologi relasi, hal ini sejalan dengan teori equity yang menekankan pentingnya persepsi keadilan dan keseimbangan kontribusi dalam membentuk relasi yang sehat dan berkelanjutan.
Krisis finansial dalam rumah tangga juga sering menjadi pemicu stres berkepanjangan. Apabila tidak dikelola dengan baik, tekanan ini dapat mengarah pada masalah mental seperti kecemasan, depresi, hingga konflik yang tak terselesaikan. Dalam jangka panjang, kondisi ini bisa memengaruhi kualitas komunikasi, menurunkan kepuasan emosional, dan mengikis kedekatan pasangan. Oleh karena itu, perencanaan keuangan yang matang sangat penting untuk menciptakan zona aman emosional di dalam pernikahan. Misalnya, membentuk dana darurat minimal 3 hingga 6 bulan pengeluaran rutin rumah tangga, berinvestasi dalam produk jangka panjang, atau memiliki asuransi kesehatan adalah langkah strategis yang tidak hanya bermanfaat secara ekonomis, tetapi juga menenangkan secara psikologis. Ketika pasangan tahu bahwa mereka siap menghadapi kemungkinan buruk secara finansial, rasa aman dalam relasi pun semakin kuat.
Permasalahan lain yang tidak kalah penting adalah kesenjangan penghasilan atau dominasi keuangan dalam relasi. Dalam masyarakat patriarkis atau pasangan dengan gap penghasilan besar, kerap terjadi ketimpangan kekuasaan dalam pengambilan keputusan ekonomi. Hal ini dapat menciptakan relasi yang timpang dan memicu konflik tersembunyi. Oleh sebab itu, penting untuk membangun kesetaraan finansial, yakni bukan dalam nominal pendapatan, tetapi dalam hak dan partisipasi dalam pengambilan keputusan rumah tangga. Pasangan yang tidak bekerja secara formal pun, seperti ibu rumah tangga, harus tetap dihargai kontribusinya dalam bentuk pekerjaan domestik atau pengasuhan anak yang secara ekonomi tidak ternilai. Dalam konteks ini, relasi yang sehat akan terbangun apabila pasangan mampu menempatkan keuangan sebagai alat kolaborasi, bukan sebagai alat dominasi.
Kunci utama keberhasilan manajemen keuangan dalam pernikahan adalah komunikasi terbuka dan literasi keuangan yang cukup. Banyak pasangan gagal bukan karena kekurangan uang, melainkan karena tidak memiliki pengetahuan dan keterampilan dalam mengatur keuangan keluarga. Oleh karena itu, penting bagi pasangan untuk meningkatkan literasi keuangan secara bersama, mengikuti kelas keuangan pranikah, membaca buku-buku pengelolaan uang, atau berkonsultasi dengan perencana keuangan. Selain itu, pasangan juga bisa melakukan evaluasi rutin terhadap kondisi keuangan, seperti melakukan financial check-up bulanan, menyusun laporan pengeluaran bersama, serta mendiskusikan target keuangan jangka pendek dan panjang. Aktivitas ini tidak hanya membantu dalam menjaga stabilitas finansial, tetapi juga membangun budaya komunikasi yang terbuka dan sehat di dalam rumah tangga.
Pada akhirnya, pernikahan yang sehat dan langgeng memerlukan fondasi ekonomi yang tidak hanya kuat, tetapi juga dikelola secara bijak, adil, dan kolaboratif. Meskipun cinta dan komitmen adalah bahan dasar dalam pernikahan, namun realitas kehidupan menuntut adanya perencanaan keuangan yang matang. Tanpa kesadaran dan kerja sama dalam aspek finansial, bahkan relasi yang dibangun dengan cinta yang tulus pun dapat terguncang oleh tekanan hidup yang bersifat material. Maka benar adanya pepatah bijak modern: “Cinta memang butuh kejujuran, tetapi rumah tangga butuh perhitungan.” Dengan demikian, menjaga keuangan rumah tangga bukan hanya soal menyusun angka, melainkan soal menjaga kepercayaan dan membangun masa depan bersama.
Daftar Pustaka
Amato, P. R. (2010). Research on Divorce: Continuing Trends and New Developments. Journal of Marriage and Family, 72(3), 650–666. https://doi.org/10.1111/j.1741-3737.2010.00723.x
Badan Pusat Statistik. (2023). Statistik Perceraian di Indonesia Tahun 2023. Jakarta: BPS.
https://bps.go.id
Dew, J., & Stewart, R. (2012). A Financial Issue: How Money Shapes and Predicts Relationship Outcomes. Journal of Family and Economic Issues, 33(3), 273–284. https://doi.org/10.1007/s10834-012-9294-2
Garman, E. T., & Forgue, R. E. (2018). Personal Finance (13th ed.). Cengage Learning.
Johnson, M. P. (1999). Personal, Moral, and Structural Commitment to Relationships: Experiences of Choice and Constraint. In J. M. Adams & W. H. Jones (Eds.), Handbook of Interpersonal Commitment and Relationship Stability (pp. 117–130). Springer.
Putnam, R. D. (2000). Bowling Alone: The Collapse and Revival of American Community. Simon & Schuster.
One Response
Hi, this is a comment.
To get started with moderating, editing, and deleting comments, please visit the Comments screen in the dashboard.
Commenter avatars come from Gravatar.