Selingkuh Bikin Meringkuh: Perselingkuhan sebagai Krisis Relasi Modern

by : Hamdani Dalimunthe, S.Psi., M.M

Fenomena perselingkuhan saat ini bukan lagi sekadar isu rumah tangga yang bersifat privat, tetapi telah menjelma menjadi masalah sosial yang kompleks dan berdampak multidimensi. Ia melibatkan luka psikologis yang mendalam, kehancuran struktur keluarga, dan bahkan komplikasi hukum yang serius. Ungkapan “selingkuh bikin meringkuh” bukanlah sekadar permainan kata, melainkan representasi dari kenyataan pahit bahwa pengkhianatan dalam relasi dapat menyeret individu—baik pelaku maupun korban—ke dalam penderitaan emosional, sosial, dan hukum yang berkepanjangan. Di era digital saat ini, di mana akses komunikasi berlangsung secara cepat, instan, dan rahasia, batas antara loyalitas dan pengkhianatan menjadi semakin kabur. Teknologi yang seharusnya memudahkan komunikasi justru memunculkan ruang baru bagi perilaku tidak setia, yang sering kali tersembunyi di balik layar gawai dan akun media sosial.

Jika ditelusuri lebih dalam, penyebab seseorang berselingkuh tidaklah tunggal. Studi yang dilakukan oleh Buss dan Shackelford (2001) menyebutkan bahwa terdapat dua motif utama yang mendasari perselingkuhan, yakni kebutuhan emosional dan dorongan seksual. Kebutuhan emosional yang tidak terpenuhi dalam relasi utama, seperti rasa dicintai, dihargai, atau diperhatikan, sering kali menjadi celah pertama yang dimanfaatkan oleh pihak ketiga. Sementara itu, dorongan seksual juga bisa menjadi pemicu, terutama jika pasangan mengalami ketidakpuasan dalam hubungan intim. Ketidakpuasan ini dapat dipicu oleh banyak faktor, seperti komunikasi yang buruk, konflik yang tidak terselesaikan, kelelahan emosional, atau bahkan luka psikologis yang belum disembuhkan dari masa lalu. Data dari American Association for Marriage and Family Therapy (AAMFT) memperkuat temuan ini, dengan menunjukkan bahwa sekitar 15% pasangan menikah terlibat dalam perselingkuhan emosional atau seksual, dan angkanya cenderung meningkat pada usia produktif antara 30 hingga 45 tahun. Di Indonesia sendiri, meskipun statistik resmi lebih jarang diungkapkan secara terbuka, data dari Pengadilan Agama menunjukkan bahwa perselingkuhan menjadi salah satu faktor tertinggi yang mendasari gugatan cerai, terutama di kota-kota besar.

Dampak dari perselingkuhan tidak hanya dirasakan oleh korban, tetapi juga pelaku dan lingkar sosial yang lebih luas. Dalam konteks psikologi hubungan, istilah “meringkuh” dapat dimaknai sebagai bentuk keterpurukan emosional yang dialami setelah pengkhianatan. Korban perselingkuhan cenderung mengalami depresi, penurunan harga diri, hingga gangguan stres pascatrauma (PTSD), sebagaimana dijelaskan oleh Glass dan Wright (1992). Sementara bagi pelaku, rasa bersalah dan kehilangan kepercayaan dari lingkungan sekitar sering kali menjadi beban psikologis tersendiri. Reputasi yang hancur, relasi sosial yang memburuk, serta rasa kehilangan akan keluarga yang dibangun bertahun-tahun adalah konsekuensi yang tidak jarang mereka hadapi. Di sisi lain, konseling pernikahan pasca-perselingkuhan pun menjadi bidang praktik yang semakin berkembang dalam psikoterapi, karena banyak pasangan yang mencoba bertahan dan memperbaiki hubungan. Namun, studi menunjukkan bahwa hanya sekitar 30–40% pasangan yang berhasil membangun kembali kepercayaan secara utuh setelah terjadinya perselingkuhan.

Realitas sosial dan budaya pun turut memperkeruh dinamika perselingkuhan. Di Indonesia, di mana nilai agama dan norma patriarki masih kuat, narasi yang berkembang sering kali menyudutkan korban, terutama perempuan, dan menganggap perselingkuhan sebagai kegagalan individu semata. Padahal, kompleksitas situasinya jauh lebih luas dan melibatkan interaksi faktor psikologis, struktural, dan relasional. Lebih ironis lagi, media populer seperti sinetron dan drama televisi sering kali menggambarkan perselingkuhan secara romantis dan permisif, bahkan dijadikan bumbu cerita yang menghibur. Padahal dalam kenyataannya, dampaknya nyata dan destruktif. Anak-anak yang tumbuh dalam keluarga yang dihantui oleh perselingkuhan orang tua cenderung memiliki tingkat kepercayaan diri yang rendah, gangguan emosional, dan kesulitan membangun relasi di masa depan. Bowen (1978) dalam teori sistem keluarga menyatakan bahwa gangguan dalam subsistem keluarga inti akan memberikan dampak jangka panjang terhadap pembentukan kepribadian dan pola hubungan antargenerasi.

Dari sisi hukum, perselingkuhan di Indonesia tidak hanya dipandang sebagai pelanggaran moral, tetapi juga sebagai delik pidana dalam konteks perzinahan. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 284 menyatakan bahwa pasangan yang menikah dan melakukan hubungan seksual dengan orang lain dapat dipidana penjara hingga sembilan bulan, apabila dilaporkan oleh pasangan sah. Sementara dalam hukum Islam yang dijalankan oleh peradilan agama, perselingkuhan menjadi salah satu alasan yang kuat untuk mengajukan gugatan cerai dan dapat berdampak pada hak asuh anak maupun pembagian harta bersama. Sayangnya, karena sifat pasal ini adalah delik aduan, banyak kasus yang tidak diproses karena tidak adanya laporan dari pasangan sah, sering kali karena tekanan sosial atau pertimbangan ekonomi.

Era digital telah menciptakan bentuk perselingkuhan baru yang lebih halus namun tetap menyakitkan, yakni micro-cheating. Aktivitas seperti flirting di media sosial, menyimpan chat rahasia, menyukai unggahan orang tertentu secara intens, atau menyembunyikan keberadaan pasangan dalam dunia maya merupakan bentuk pengkhianatan emosional yang semakin sulit dideteksi. Studi oleh Lehmiller (2020) menemukan bahwa lebih dari 70% responden menganggap bentuk interaksi digital tertentu sebagai bentuk perselingkuhan, meskipun belum melibatkan kontak fisik. Fenomena ini menunjukkan bahwa definisi kesetiaan telah meluas dan semakin rumit, terutama di tengah transformasi komunikasi digital yang serba cepat dan tanpa batas.

Untuk mencegah dampak destruktif dari perselingkuhan, pendekatan preventif menjadi sangat penting. Edukasi mengenai relasi sehat, komunikasi efektif, dan kesadaran emosional harus menjadi bagian dari literasi relasi yang diajarkan sejak usia remaja. Pasangan juga perlu menciptakan ruang dialog yang terbuka untuk membahas ekspektasi, kebutuhan emosional, dan batasan dalam relasi mereka. Konseling pranikah dan pascah menikah menjadi instrumen penting untuk memperkuat pondasi hubungan serta mengantisipasi munculnya konflik yang berlarut-larut. Dalam relasi yang sehat, kepercayaan dibangun melalui komunikasi yang jujur, penguatan nilai kesetiaan, serta kemampuan untuk menghadapi masalah bersama tanpa mengorbankan integritas relasi.

Pada akhirnya, ungkapan “selingkuh bikin meringkuh” bukanlah sekadar lelucon sinis atau sindiran sarkastik, melainkan cerminan dari kenyataan pahit yang sering kali tidak disadari sebelum semuanya terlambat. Perselingkuhan tidak hanya merobek kepercayaan, tetapi juga menghancurkan stabilitas psikologis dan sosial dari individu serta lingkungan di sekitarnya. Dalam jangka panjang, membangun hubungan yang sehat, terbuka, dan berlandaskan kepercayaan adalah satu-satunya cara untuk mencegah tragedi relasi ini. Karena pada akhirnya, setiap bentuk pengkhianatan, sekecil apa pun itu, akan meninggalkan jejak luka yang sulit dihapus, baik dalam ranah pribadi maupun publik. Maka sebelum tergoda melangkah ke jalur yang menyesatkan, bijaklah bertanya: apakah kebahagiaan sesaat layak dibayar dengan kehilangan yang panjang?

Daftar Pustaka (APA 7th Edition)

  • Amato, P. R., & Previti, D. (2003). People’s Reasons for Divorcing: Gender, Social Class, the Life Course, and Adjustment. Journal of Family Issues, 24(5), 602–626. https://doi.org/10.1177/0192513X03254507
  • Buss, D. M., & Shackelford, T. K. (2001). The Evolution of Jealousy: Sex Differences in Reactions to Infidelity. Personal Relationships, 7(1), 35–50. https://doi.org/10.1111/j.1475-6811.2000.tb00003.x
  • Glass, S. P., & Wright, T. L. (1992). Justifications for Extramarital Relationships: The Association Between Attitudes, Behaviors, and Gender. The Journal of Sex Research, 29(3), 361–387.
  • Gordon, K. C., Baucom, D. H., & Snyder, D. K. (2004). An Integrative Intervention for Promoting Recovery from Extramarital Affairs. Journal of Marital and Family Therapy, 30(2), 213–231.
  • Giddens, A. (1992). The Transformation of Intimacy: Sexuality, Love, and Eroticism in Modern Societies. Stanford University Press.
  • Lehmiller, J. J. (2020). The Psychology of Human Sexuality (2nd ed.). Wiley-Blackwell.
  • Rusbult, C. E. (1980). Commitment and Satisfaction in Romantic Associations: A Test of the Investment Model. Journal of Experimental Social Psychology, 16(2), 172–186.
  • Undang-Undang Republik Indonesia. (1946). Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Pasal 284.
  • UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

TAGS

CATEGORIES

No Responses

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *