By : Hamdani Dalimunthe, S.Psi., M.M
Menikah bukan hanya tentang perayaan cinta dan seremoni sakral, melainkan keputusan besar yang mengubah jalan hidup dua individu. Dalam pernikahan, cinta saja tidak cukup. Ia perlu ditopang oleh pemahaman, kesiapan emosional, kesepakatan nilai, dan kemampuan menyelesaikan konflik. Di sinilah konseling pranikah memainkan peran krusial. Sayangnya, masih banyak pasangan yang mengabaikan tahap ini karena menganggapnya tidak penting atau karena asumsi bahwa cinta mampu menyelesaikan segalanya. Padahal, penelitian dan pengalaman menunjukkan bahwa kegagalan pernikahan kerap berakar dari masalah yang sebetulnya dapat diidentifikasi dan diantisipasi sejak awal, jika pasangan bersedia membuka ruang refleksi melalui konseling pranikah.
Konseling pranikah adalah proses pendampingan profesional yang bertujuan membantu pasangan mempersiapkan diri secara mental, emosional, dan sosial sebelum memasuki kehidupan pernikahan. Kegiatan ini dilakukan oleh konselor terlatih atau psikolog yang memahami dinamika hubungan interpersonal. Dalam prosesnya, pasangan diajak berdiskusi dan merefleksikan berbagai aspek penting, seperti pengelolaan konflik, komunikasi yang sehat, perbedaan nilai, ekspektasi peran gender, pengelolaan keuangan, seksualitas, hingga perencanaan anak. Menurut American Association for Marriage and Family Therapy (AAMFT), pasangan yang mengikuti konseling pranikah memiliki kemungkinan hingga 30% lebih kecil mengalami perceraian dibandingkan pasangan yang tidak menjalaninya. Ini membuktikan bahwa pencegahan melalui pemahaman jauh lebih efektif dibanding penanganan saat konflik sudah terjadi.
Secara psikologis, konseling pranikah memperkuat modal relasional pasangan melalui tiga aspek penting: komunikasi, resolusi konflik, dan kejelasan peran. Banyak pasangan yang masuk ke jenjang pernikahan tanpa pernah membahas secara eksplisit bagaimana mereka akan mengelola konflik ketika perbedaan muncul. Mereka juga belum memahami sepenuhnya bagaimana kebutuhan emosional masing-masing bekerja. Dalam konseling pranikah, mereka diajak untuk membuka ruang kejujuran dan keterbukaan, yang sering kali belum tersentuh dalam masa pacaran. Hal-hal seperti bagaimana menghadapi stres, apakah pasangan memiliki trauma masa lalu, bagaimana mereka melihat pengasuhan anak, dan bagaimana membagi peran dalam rumah tangga menjadi bahan pembicaraan yang sangat penting namun sering diabaikan. Proses ini membantu pasangan mengantisipasi potensi benturan sekaligus menyusun strategi adaptasi.
Dalam konteks Indonesia, praktik konseling pranikah belum menjadi budaya umum, meskipun sudah mulai diperkenalkan dalam program bimbingan perkawinan di bawah Kementerian Agama. Sayangnya, pendekatan yang dilakukan masih banyak bersifat administratif dan tidak mendalam secara psikologis. Padahal, dengan meningkatnya angka perceraian yang signifikan—menurut data BPS tahun 2023, terdapat lebih dari 450 ribu kasus perceraian di Indonesia, yang sebagian besar terjadi pada lima tahun pertama pernikahan—sudah semestinya konseling pranikah dijadikan bagian integral dari kebijakan publik dalam membangun ketahanan keluarga. Konseling ini tidak hanya relevan bagi pasangan muda, tetapi juga penting bagi pasangan yang menikah kedua kali atau pasangan dengan latar belakang keluarga berbeda, seperti lintas budaya, lintas agama, atau berbeda status ekonomi.
Konseling pranikah bukan bertujuan menakut-nakuti atau membuat pasangan ragu menikah, melainkan sebagai media untuk memastikan bahwa keputusan menikah telah diambil dengan kesadaran penuh. Ia menjadi forum edukasi relasi jangka panjang yang sering kali tidak diperoleh dari lingkungan sosial atau pendidikan formal. Dengan mengikuti konseling ini, pasangan diajak untuk memahami bahwa pernikahan bukan tempat mencari kebahagiaan semata, tetapi juga tempat untuk bertumbuh, berproses, dan saling menerima dalam kondisi terbaik maupun terburuk. Ketika pasangan menyadari bahwa konflik adalah hal normal, dan mereka telah memiliki alat untuk menghadapinya, maka kualitas pernikahan pun meningkat.
Dari sisi teologis maupun budaya, konseling pranikah juga memberikan ruang bagi pasangan untuk menyelaraskan pandangan hidup. Dalam agama Islam misalnya, pernikahan adalah ibadah yang penuh tanggung jawab. Konseling pranikah membantu pasangan menginternalisasi nilai-nilai pernikahan sebagai amanah, bukan sekadar legalitas hubungan. Di banyak budaya Asia, nilai-nilai keluarga besar dan harapan sosial terhadap pasangan menikah sangat tinggi. Konseling membantu pasangan untuk menavigasi tekanan ini secara bijak dan realistis. Di sisi lain, pasangan juga dapat mendiskusikan kemungkinan intervensi keluarga, peran mertua, serta strategi membangun kemandirian relasi.
Aspek penting lain dari konseling pranikah adalah pembahasan mengenai keuangan keluarga. Tidak sedikit pernikahan yang goyah karena perbedaan gaya hidup, sikap terhadap utang, hingga ketidakmampuan menyusun tujuan finansial bersama. Dalam konseling, pasangan diajak menyusun rencana ekonomi jangka pendek dan panjang, serta menetapkan sistem pengelolaan keuangan yang disepakati bersama. Topik lain yang juga menjadi perhatian dalam sesi ini adalah seksualitas. Hal ini sering menjadi isu sensitif yang jarang dibicarakan terbuka, namun memiliki pengaruh besar terhadap keharmonisan rumah tangga. Konseling memberi ruang aman untuk membicarakan batasan, kebutuhan, serta harapan dalam kehidupan seksual.
Perlu diingat bahwa konseling pranikah bukanlah “obat” yang hanya diberikan ketika ada masalah. Ia adalah bentuk perawatan preventif. Sebagaimana seseorang memeriksa kondisi kesehatan sebelum berolahraga intens, demikian pula pasangan perlu memeriksa kesiapan psikologis sebelum memasuki maraton kehidupan pernikahan. Dengan demikian, pasangan tidak hanya siap menikah secara administratif, tetapi juga siap secara mental, emosional, dan spiritual.
Pada akhirnya, konseling pranikah adalah bentuk kasih sayang kepada diri sendiri dan pasangan. Melalui konseling ini, pasangan belajar untuk saling memahami secara lebih dalam sebelum mengikat janji suci yang menyatukan dua kehidupan. Kesadaran bahwa menikah bukan sekadar impian romantis, tetapi juga perjalanan realistis yang menuntut komitmen, kedewasaan, dan kemampuan beradaptasi, adalah bentuk kedewasaan yang patut dihargai. Maka sebelum menikah, berkonselasilah. Karena hubungan yang dibangun dengan kesadaran dan pemahaman akan jauh lebih kuat daripada hubungan yang hanya dibangun oleh harapan kosong.
Daftar Pustaka
American Association for Marriage and Family Therapy. (2019). Premarital counseling: Benefits and approaches. Retrieved from https://www.aamft.org
Badan Pusat Statistik. (2023). Statistik Perceraian di Indonesia Tahun 2023. Jakarta: BPS. https://bps.go.id
Carroll, J. S., & Doherty, W. J. (2003). Evaluating the Effectiveness of Premarital Prevention Programs: A Meta‐Analytic Review of Outcome Research. Family Relations, 52(2), 105–118. https://doi.org/10.1111/j.1741-3729.2003.00105.x
Markman, H. J., Stanley, S. M., & Blumberg, S. L. (2010). Fighting for your marriage: A deluxe revised edition of the classic best-seller for enhancing marriage and preventing divorce. Jossey-Bass.
Seligman, L. (2014). Theories of counseling and psychotherapy: Systems, strategies, and skills (4th ed.). Pearson.
Widiastuti, F., & Nurhayati, S. (2021). Efektivitas Konseling Pranikah dalam Menurunkan Kecemasan Menjelang Pernikahan pada Pasangan Muda. Jurnal Psikologi Ulayat, 8(1), 12–21. https://doi.org/10.24854/jpu.v8i1.221
Kementerian Agama Republik Indonesia. (2022). Panduan Bimbingan Perkawinan bagi Calon Pengantin. Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam. https://bimasislam.kemenag.go.id
No Responses